SELAMAT DATANG

Minggu, 10 Januari 2010

PEGUNUNGAN: MENGAPA MENJADI KEBUN SAYUR ?

Oleh: Nur Sumedi


Sebuah kemajuan ataukah tragedi ? Itulah kira-kira pertanyaan yang menggelitik pikiran kita, saat menyaksikan perubahan konfigurasi lahan (land configuration) yang sangat masif akibat dinamika pemanfaatan lahan (land use) pegunungan. Budidaya hortikultura telah mengubah paras pegunungan kita menjadi ladang sayur-mayur, suatu kegiatan pertanian yang sangat marak di banyak daerah di pegunungan Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia. Dari sisi ekonomi masyarakat pedesaan ataupun dari aspek manfaat dalam jangka pendek boleh jadi berkembangnya sistem budidaya hortikulura yang sangat intensif di pegunungan adalah suatu kemajuan, apalagi disaat terbatasnya lapangan pekerjaan dan masih marjinalnya tingkat pendapatan petani. Namun kalau kita memandangnya dari aspek yang lebih komprehensip, yakni nilai ekonomi keseluruhan, manfaat jangka panjang dan yang sangat penting adalah peran ekologis pegunungan untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia dalam jangkauan yang lebih luas, maka tata guna lahan yang terjadi saat ini menjadi paras yang sangat mengkhawatirkan.



Bila kita memandang hamparan lahan di Pengalengan yang terbentang diantara tiga gunung cantik yakni Gunung Malabar, Gunung Wayang, hingga Gunung Tilu, juga Lembang dan beberapa areal perbukitan sekitar kota Bandung, maka yang terhampar sampai hampir di puncak perbukitan adalah hijaunya kebun sayur mayur yang subur. Demikian pula pemandangan bukit-bukit di wilayah Garut, tanaman sayur seperti kentang, wortel, kol, dan jenis hortikultur lainnya menjadi pemandangan yang mendominasi dari kaki gunung hingga lereng, bahkan hampir di puncak perbukitan. Menanam sayur telah menjadi aktifitas primadona banyak petani di kawasan tersebut. Bahkan kawasan konservasi yang merupakan kawasan hutan negara yang dijaga pun, tak luput dikonversi menjadi kebun sayuran.

Kasus yang sama tidak hanya terjadi di Bandung dan Garut, namun banyak pula menimpa daerah lain, seperti Bromo di Jawa Timur, Kanreapia di Sulawesi Selatan, Deli Sumatera Utara dan masih banyak daerah lainnya. Namun demikian tekanan ekologis terhadap wilayah pegunungan pada umumnya terasa sangat berat dialami di Pulau Jawa.

Jawa yang menjadi pusat perkembangan beragam industri dan tempat tinggal mayoritas penduduk Indonesia, membawa implikasi ekologis yang sangat besar bagi keberadaan ekosisitem pegunungan. Yang sangat dramatik adalah yang terjadi di Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Dataran tinggi nan indah yang membentang di antara tujuh gunung (saptorenggo/saptoargo) dan menurut catatan sejarah pernah merupakan pegunungan dengan hutan perawan yang lebat, dengan beranekaragam satwa besar dan kecil yang menghuninya, kini hilang tinggal cerita. Dalam catatan Tjarios Pareden Dijeng yang ditulis oleh ”Centhini” seorang abdi kerajaaan didokumentasikan oleh Majoor L.F Van Gent orang Belanda dan Prawirosoedirdjo tahun 1922 digambarkan Hutan Dieng adalah tempat yang sangat dingin yang dilingkungi hutan perawan yang sangat lebat dengan berbagai ragam binatang yang menghuninya.

Sekarang pemandangannya dari kacamata ekologis menjadi teramat menggelisahkan. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah dominasi tanaman kentang mengisi bentang alam yang ada sekarang. Dieng yang merupakan hulu dari tiga (3) daerah aliran sungai (DAS) besar yakni DAS Serayu, DAS Bogowonto, dan DAS Luk Ulo menjadi gantungan hidup alias sumber air utama bagi banyak Kabupaten di Jawa bagian selatan, seperti Banjarnegara, Purworejo, Banyumas hingga Cilacap.

Pertanyaan penting kita adalah mengapa ini sampai terjadi?


Pegunungan Jawa dari Masa ke Masa

Pegunungan Jawa yang terbentang dari ujung barat dimulai dari Gunung Pulasari di Propinsi Banten hingga di ujung paling timur yakni Gunung Baluran di Jawa Timur, semuanya merupakan rangkaian gunung api. Itulah sebabnya Pulau Jawa menjadi subur, karena volknisme memperbarui kesuburan tanah. Menurut Steenis (2006) gunung-gunung berapi di Jawa kerapkali mengelompok seperti di Prianangan, dapat pula berjajar seperti Gunung-gunung Sindoro, Sumbing, dan Merbabu, juga ada yang keempat kerucutnya berada dalam satu komplek seperti Gunung Arjuna-Welirang. Adapula Gunung-gunung yang tegak berdekatan membentuk Gunung berapi kembar seperti Gunung Tarub dan Lamongan, Petung Kriana dan Dieng, Tengger dan Semeru, Raung dan Ijen. Gunung gabungan ini juga kerapkali membentuk dataran tinggi (Plateau) yang luas. Selain itu juga terdapat gunung dengan kerucut tunggal seperti G. Ciremai dan Penanggungan. Di Jawa Timur Gunung Tengger dan G. Ijen memiliki kaldera, yakni kawah yang tepinya mengelilingi sebuah plateau mendatar yang jauh lebih besar daripada kawah normal. Di dalam dan pinggiran kaldera-kaldera sering muncul gunung api sekunder misalnya dalam kaldera Tengger muncul G. Bromo, Batok dan Widodaren. Dalam kaldera G. Ijen muncul G. Suket, Merapi, Kawah Ijen, Pendil dan sebagainya.

Sepanjang Pulau Jawa Terdapat 40 gunung api utama, bahkan 34 diantaranya telah tercatat dengan baik sejak tahun 1600.

No.

Nama Gunung

Tinggi (m)

dpl

No.

Nama Gunung

Tinggi (m)

dpl

1

Pulasari

1346

21

Plato Dieng

2560

2

Karang

1778

22

Sindoro

3136

3

Halimun Barat

1929

23

Sumbing

3377

4

Halimun Timur

1750

24

Ungaran

2050

5

Salak

2211

25

Merbabu

3142

6

Gede-Pangrango

3019

26

Merapi

2911

7

Tangkuban Perahu

Disebelahnya Burangrang

2084

2064

27

Muria

1602

8

Bukit Tunggul

2209

28

Lawu

3265

9

Tampomas

1684

29

Wilis

2563

10

Patuha

2434

30

Anjasmoro

2282

11

Tilu

2040

31

Arjuno-wlirang

3339

12

Malabar

2330

32

Kelud

1731

13

Wayang

2182

33

Kawi-Butak

2868

14

Kancana

2182

34

Tengger

2770

15

Papandayan

2622

35

Semeru

3676

16

Cikurai

2821

36

Plato Iyang

3088

17

Guntur

2249

37

Raung

3332

18

Galunggung

2241

38

Plato Ijen

2950

19

Ciremai

3078

39

Merapi

2800

20

Slamet

3432

40

Baluran

1247

Berdasar kajian biostratigrafis atau palinologi yang merupakan metode untuk mengungkap sejarah vegetasi masa lampau ribuan bahkan jutaan tahun, ditemukan bahwa masa 500 tahun sebelum Masehi di pegunungan Jawa telah terhampar hutan perawan yang lebat. Di Pegunungan Dieng misalnya ditemukan 25 jenis serbuk sari pohon, 2 serbuksari tanaman aquatik, 27 tipe spora dan 19 jenis serbuksari dan spora yang belum dikenal. Penebangan hutan diperkirakan sangat marak pada masa abad kedelapan hingga abad ketigabelas, hal ini diidentifikasi dari tingginya endapan serbuksari jenis Plantago major, Macaranga, dan Trema yang ditemukan di lapisan tanah di Telaga Balekambang, sekitar komplek candi di Dieng (Flendley, 1988). Saat itu merupakan masa perkembangan kerajaan Mataram Hindu, yang untuk membangun diperlukan selain lahan baru juga kebutuhan kayu untuk perumahan, kayu bakar dan kebutuhan lainnya. Di dataran tinggi Dieng sejak abad ketigabelas hingga tahun 1800 perambahan hutan relatif berhenti, hal ini karena komunitas penghuninya yang menurun drastis karena pindah. Menurut Schectema (1912) perpindahan itu belum secara jelas penyebabnya. Mulai tahun 1800 penebangan berlangsung lagi sehingga hutan asli yang tersisa tinggal di puncak-puncak Gunung Perahu, gunung tertinggi dalam area Pegunungan Dieng.

Pegunungan Jawa juga dicirikan dengan alur pegunungan vulkanik yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur. Hal ini juga berpengaruh terhadap komposisi dan struktur hutan yang terbentuk. Pada umumnya vegetasi pegunungan vulkanik diisi oleh tipe-tipe vegetasi vulkanik aktif, vegetasi kawah dan vegetasi aquatik terutama daerah-daerah berdanau. Tipe hutan yang tumbuh pada umumnya adalah campuran tipe hutan pegunungan atas (upper montane forest) yang berpadu dengan tipe pegunungan bawah (lower montane forest).

Dinamika hutan pegunungan baik pergantian komposisi jenis maupun strukturnya banyak dipengaruhi oleh faktor iklim, vulkanik dan tentu saja faktor manusia. Ketika intensitas campur tangan manusia masih kecil faktor iklim dan vulkanis menjadi penentu dominan. Namun saat jumlah penduduk meningkat, perkembangan budaya manusia melaju dengan cepat, maka faktor manusia menggeser dominasi faktor alam.

Tidak banyak dokumentasi sejarah ataupun literasi sejarah yang mengronologiskan dinamika wajah pegunungan di Jawa termasuk perkembangan kehutanannya. Sebuah catatan menyebutkan bahwa berkurangnya luas hutan alam yang cukup besar pertama terjadi sekitar tahun 200-400 M, saat periode awal orang mulai mengenal kayu jati. Suatu naskah kuno menyebutkan bahwa menjelang tahun 1000 di Pulau Jawa sudah ada tegakan (standing forest) hutan jati seluas 1,5 juta ha. Dalam catatan yang lain disebutkan bahwa pada sekitar tahun 900 M di Jawa terdapat jabatan Tuan Pemburu yang dibedakan dengan Tukang Buru yang kelihatannya banyak sangkut-pautnya dengan aktivitas kehutanan.

Pada periode pembangunan banyak candi Hindu-Budha di Jawa Tengah cukup banyak hutan alam di dataran aluvial daerah pantai yang dikonversi, baik untuk kepentingan keagamaan, permukiman maupun pertanian. Daerah pegunungan adalah daerah yang secara religi memiliki kaitan spiritual dengan keyakinan Hindu-Budha di Jawa, oleh karenanya pada saat itu banyak para peziarah yang mulai mendaki berbagai pegunungan dan mendirikan candi-candi sebagai pemujaan. Karena mulai ramainya aktivitas masayarakat ke pegunungan, kejadian kebakaran besar Hutan Cemara Gunung (Casuaarina junghuhniana) yang tumbuh lebat hampir seluruh gunung di Jawa Timur, diduga bermula dari ketidaksengajaan nyala api para pendaki yang sedang berziarah. Peristiwa ini yang terjadi sudah berabad-abad lalu.

Babad Tanah Jawa adalah sebuah naskah kuno yang mengisahkan “babad” atau pembukaan hutan-hutan di Jawa untuk keperluan perluasan pemukiman dan pendirian kerajaan di Pulau Jawa. Beberapa ahli menjadikan naskah ini menjadi referensi setelah divalidasi, hal ini disebabkan penceritaannya masih berbaur antara sejarah dengan mitos dan mistis. Sesungguhnya proses hortikulturasi secara massal dimulai pada siaat masa kolonial, Belanda memerintahkan para petani menanam tanaman kebutuhan ekspor ke Eropa terutama cengkeh, gula, kopi, dan teh di tanah yang sebelumnya kebanyakan berupa hutan pada era yang terkenal dengan “tanam paksa”. Periode cultur stelsel inilah puncak dimulainya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian oleh Belanda yang banyak mengubah wajah pegunungan di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-19 dataran tinggi pengalengan yang terhampar di antara Gunung Malabar, Gunung Tilu, Gunung Wayang masih ditutupi oleh lebatnya hutan, namun kemudian hutan perlahan-lahan mulai hilang pada saat daerah-daerah yang lebih datar dibuka untuk perkebunan kopi dan teh, dan kemudian menjalar (contagious) ke arah sekitarnya.

Di Jawa Tengah proses perubahan tata guna lahan juga sangat intensif terjadi pada pada pertengahan abad 18. Meskipun diwarnai dengan perang Jawa yang dipimpin oleh P Diponegoro (1825-1830) namun pembukaan lahan-lahan pegunungan untuk perkebunan berjalan cepat. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing serta Gunung Merbabu mulai benar-benar gundul pada abad ke-18, dari kaki, lereng hingga puncak pegunungan hanya tersisa sedikit dari sebelumnya hutan perawan yang lebat. Pada masa pembangunan jalan-jalan era Daendels hutan-hutan Jawa mengalami pengurangan yang sangat signifikan, kira-kira seluas 22.000 km2 hutan alam Jawa telah hilang antara tahun 1898 dan 1937 untuk kepentingan pembukaan jalan raya dan pembangunan rel kereta api yang sangat panjang.

Ekosistem Pegunungan: Peran Tak Tergantikan

Nampaknya belum ada, atau paling tidak sulit sekali menemukan penelitian di Indonesia yang memfokuskan gunung atau pegunungan sebagai sebuah Ekosisitem Pegunungan yang utuh dan terpadu. Gunung ataupun pegunungan adalah ekosistem yang unik dan khas di lanskap daratan. Wilayah pegunungan mencakup luasan yang lebih terbatas diperkirakan hanya sekitar 24 persen dari luas daratan secara keseluruhan, namun secara ekologis merupakan pilar yang menyokong kehidupan manusia hampir secara keseluruhan. Di beberapa tempat di dunia ekosistem gunung terlihat terpisah atau sengaja dipisahkan dengan ekosistem dibawahnya, namun pengaruhnya secara alamiah terhadap lingkungan dan kehidupan manusia tetap sangat besar. Lebih dari setengah populasi manusia di dunia tergantung oleh air yang berasal dari aliran sungai-sungai yang bersumber dari gunung, baik untuk kebutuhan minum, pengairan tanaman pangan, sumber tenaga listrik dan bagi keberlanjutan berbagai industri. Pada tahun 2002 sekitar 15 persen dari 20 persen pendapatan sektor wisata diperoleh dari aktivitas wisata yang berkaitan dengan pegunungan.

Perubahan iklim, polusi, konflik kepentingan, pertumbuhan penduduk, penggundulan dan pertanian yang eksploitatif, pertambangan dan beberapa praktik kegiatan wisata adalah tantangan yang dihadapi oleh “menara air dunia”. Peringatan oleh alam berupa semakin seringnya banjir bahkan di wilayah pegunungan sekalipun, longsor dan musnahnya flora dan fauna endemik adalah fenomena yang berkait erat dengan ekosistem pegunungan. Dalam skala konflik global, gunung juga menjadi tempat yang paling terancam, menurut Schreier (2002) pada tahun 1999 dari 27 konflik besar, 23 diantaranya melibatkan perang yang terjadi di wilayah pegunungan. Pada tahun 1999 sekitar 600 juta penduduk atau 10 persen populasi dunia tinggal di wilayah pegunungan.

Ekosistem pegunungan adalah ekosistem yang paling mudah mendapat tekanan biogeografis. Dari gunung-gunung yang ada di Jawa Barat hingga Jawa Timur, ekosisitem pegunungan sangat berbeda dengan daerah dataran bawah, terutama sekali adalah dalam hal erosi, longsor, aliran lava, gempa bumi, arus sungai, guguran cadas. Dalam hal variasi klimat juga berbeda yang biasanya mengakibatkan lebih lambatnya pemulihan pada flora dan fauna serta tanah. Sebagai akibat keunikan lingkungan dan di beberapa tempat jauh dari jangkauan peradaban kota, kadang-kadang menyisakan alam perawan sebagai perwakilan ekologi pegunungan yang masih asli. Namun demikian secara umum daerah ini telah dengan cepat kehilangan kualitas ingkungannya, budaya asli, tradisi dan pengetahuannya.

Bagaimanapun daerah ini tetap merupakan tempat khusus yang secara global sangat penting yakni sebagai hot spots keragaman hayati, menara air yang menjadi penyuplai sekitar 80 persen kebutuhan air bersih manusia, warisan keunikan alam yang khas, dengan interaksi antara alam pegunguna dan masyarakat yang melahirkan tradisi dan budaya pegunungan yang khas. Menurut the World Water Council's Report on sustaining water (1996) kelangkaan air bersih semakin luas menyebar di berbagai negara: "tahun 1950, hanya 12 negara dengan 20 juta penduduk yang menghadapi kelangkaan air bersih; pada tahun 1990 sudah mencapai 26 negara dengan 300 juta penduduk; dan tahun 2050 diprediksi sebanyak 65 negara dengan 7 milyar penduduk, atau sekitar 60 persen dari populasi dunia terutama di negara berkembang akan mengalami kekurangan air bersih. ".

Ekosistem pegunungan sebenarnya merupakan ekosistem yang rentan (fragile ecosystem). Topografi yang miring bahkan sering sangat curam membuat mudah terjadinya kikisan kesuburan pada lapisan atas tanah yang pada umumnya terbawa ke arah sungai yang kemudian memperburuk sedimentasi pada wilayah di bawahnya. Kerusakan dan degradasi lahan ini juga merupakan pemicu terjadinya longsor dan banjir. Berbagai flora dan fauna juga secara endemik hidup di wilayah pegunungan.

Secara agroklimat daerah pegunungan juga cocok untuk pengembangan berbagai jenis hortikultur. Berbagai komoditas sayuran dan buah-buahan terutama yang berasal dari daerah subtropik kini banyak dikembangkan di berbagai wilayah pegunungan. Secara ekologis jenis-jenis eksotik, baik jenis kayu-kayuan maupun komoditas tumbuhan lainnya mengancam keseimbangan alamiah yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun demikian perkembangan sosial dan ekonomi terutama perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan produk hortikultur, telah menambah kompleksitas permasalahan keberlanjutan ekosistem pegunungan yang stabil.

Daerah pegunungan yang merupakan ekosistem yang tak tergantikan dan menjadi sandaran kebutuhan air mayoritas penduduk daratan nampaknya belum mendapat perhatian yang komprehensip. Pengaruhnya secara ekologis yang sangat besar terhadap ekosistem yang lebih luas memerlukan pendekatan manajemen yang lebih integratif dan holistik. Idealnya dari sisi konservasi daerah pegunungan adalah daerah dengan hutan yang lebat, bahkan jika masih terdapat hutan alam, maka upaya untuk mempertahankan adalah langkah utama pengelolaan. Namun faktanya adalah keberadaan luas hutan yang sudah terbatas, tetap terus terancam oleh ekstensifikasi komoditas-komoditas hortikultur. Untuk memadukan berbagai kepentingan yang terus berkembang dalam titik optimal diperlukan pendekatan yang integratif dan rasional.

Benarkah Akibat Kapitalisasi Pedesaan?

Proses beralihnya fungsi atau guna ruang tanah dalam bentuk perluasan, jenis, intensitas dari penggunaan sebelumnya karena adanya aktivitas manusia yang mendiami untuk memaksimalkan keuntungan dan nilai tambah ekonomi dalam rangka pemanfaatannya. Perubahan tata guna lahan juga merupakan proses alamiah yang dipengaruhi oleh pertimbangan: pemanfaatan lahan secara optimal, nilai ekonomi lahan, motivasi masyarakat, kondisi fisik lahan dan pertimbangan sosial-psikologi. Dalam bahasa yang lain perubahan konfigurasi pemanfaatan lahan tergantung pada orientasi masayrakatnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, budaya, fisik lahan, teknologi dan juga faktor sejarah.

Masyarakat petani yang tinggal dan memiliki lahan merasa memiliki hak untuk menentukan jenis tanaman yang dapat menjadi penopang hidupnya. Padahal ada pengaturan, yang waktu masih bernama Direktorat Tata guna Lahan Dirjen Agraria Depdagri Publikasi No. 30 yang menyebutkan bahwa batas mutlak tanah usaha atau tanah yang bisa diusahakan secara ewkonomis optimal dengan pola penggunaan tertentu terletak pada ketinggian maksimum 700-900 m dpl, dengan ketinggian minimal 3-7 m dpl. Tapi seberapa banyak masyarakat yang mengetahui aturan tersebut, atau kalau toh mengetahui solusi apa yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi keterbatasan lahan dan tanah milik di wilayah ”terlarang kelola” itu.

Namun demikian biasanya keputusan petani diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbanngan: kemungkinan kesesuaian lahan, tradisi dan teknologi, unsur kesempatan dan tekanan ekonomi. Dalam kacamata Teori Organisasi Spasial, Morril (1974) menjelaskan bahwa dalam pertanian komersial, sesuatu yang sudah terjadi di berbagai pegunungan Jawa, yang mendorong perubahan tataguna lahan ke arah pertanian adalah lingkungan fisik berupa kondisi lahan, pasar dengan segala mata rantainya, tingkat kemudahan transport dan tentu saja faktor manusianya. Dalam penjelasan yang lain pola perkembangan pertanian yang pada akhirnya mempengaruhi konfigurasi tataguna lahan sangat terkait dengan faktor fisik berupa sifat lahan, aksesibilitas, dan ketersediaan lahan. Disamping faktor fisik dimensi non fisik juga sangat memengaruhi berupa kondisi ekonomi, sosial, demografi, dan aspek kebijakan.

Dinamika demografis berupa pertambahan penduduk yang cepat, membuat rasio kepemilikan lahan petani semakin menyempit. Hal ini mendorong pengelolaan yang semakin intensif untuk mempertahankan kecukupan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi gerusan konsumerisme yang menembus komunitas pedesaan, bahkan di tempat terpencil sekalipun yang memperberat tekanan terhadap eksploitasi lahan demi produktivitas yang setinggi-tingginya.

Apa Yang Perlu Dilakukan?

Kompleksitas permasalahan wilayah pegunungan adalah muara dari dinamika demografis yang tidak terkelola dengan ketat, seperti perkembangan jumlah penduduk juga pertambahan jumlah tenaga kerja. Disamping itu sinergi antar institusi yang bergerak dalam wilayah yang sama, kebanyakan tidak berjalan mulus dan efektif. Sementara itu dorongan kepentingan ekonomi yang biasanya bersifat mendesak, berjangka pendek dan bersifat langsung sering menenggelamkan kepentingan ekologis yang dampaknya bersifat jangka panjang dan pelan-pelan.

Dengan demikian langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan adalah mengatur strategi yang memadukan kepentingan ekonomis maupun ekologis, menangani dinamika sosial dengan tepat dan membangun ataupun menata kembali kapasitas institusi sehingga bisa bekerja dengan efektif.

Dari aspek teknis pola tanam agroforestri dengan komoditas baik tanaman hutan maupun tanaman pertanian yang bernilai tinggi, nampaknya perlu didorong dengan kuat. Jadi munculnya hamparan yang memadukan tanaman pohon-pohonan dan tanaman pertanian di satu tempat yang sama, akan menghadirkan keamanan ekologis sekaligus memberikan nilai ekonomis yang memadai bagi masyarakatnya. Pemetaan tataguna lahan yang tepat yang diikuti tata batas yang jelas, dan dikawal oleh penegakan peraturan yang konsisten juga merupakan strategi penting untuk kawasan pegunungan. Kehadiran negara melalui berbagai instrumennya yang demokratis menjadi faktor penting untuk mengawal proses-proses manajemen, dan memastikan bagian penting dari kebijakan publik berjalan yakni: implementasi.

Bibliografi:

Schreier, H. 2002. Mountain: Sources of Water, sites of poverty and War. Population Today: Aug/Sep 2002; 30,6. Academic Research Library. Pg 3. www. Mountains2002.0rg.